Menjadi seorang ibu adalah sebuah pengalaman yang menakjubkan. Tidak hanya proses kehamilan, melahirkan maupun merawat sang anak, namun juga proses membesarkan si jabang bayi menjadi individu yang berkualitas. Seorang teman berkata, pekerjaan rumah seorang ibu adalah bagaimana berkomunikasi dengan bahasa yang dimengerti anak-anak. Karena dengan demikian, seorang ibu akan dapat membantu si anak menyiapkan mentalnya menghadapi kehidupan yang tidak selalu menyenangkan. Bahkan pernah dalam sebuah tayangan acara teve Oprah (episode Hari Ibu), ditegaskan bahwa menjadi seorang ibu adalah sebuah proses pembelajaran tanpa henti.
Anak sulung gw, Ian, lahir dikala gw masih sangat muda. 21 tahun kurang 1 bulan. Bagaimana harus membesarkannya? Hal termudah yang dilakukan ibu muda yang baru melahirkan adalah menoleh pada ibu kandungnya. Apa yang pernah mamah kita lakukan, menjadi panduan kita dalam mengambil sikap. Lebih banyak mendengarkan dan meniru karena kita benar-benar kosong. Apakah berhasil? Beberapa iya, beberapa tidak. Karena toh Mamah gw tetap mengeluarkan jurus teriakan lantang menggema ketika menghadapi polah si Ian memanjat tiang listrik diusia yang belum genap 5 tahun. Sementara ketika gw berusaha menerapkan sendiri aturan ala gw, misalnya menyuruh Ian pergi sekolah (taman kanak-kanak) dengan menaiki sendiri sepedanya, gw terpaksa berhadapan dengan kemarahan Mamah gw.
Dan sekarang ketika gw gak bisa menoleh lagi ke Mamah, banyak hal terjadi seiring perkembangan usia anak sulung gw. Satu-satunya panduan gw adalah apa yang gw alami dan lakukan dimasa lalu. Mendaftar sekolah, misalnya. Sewaktu gw mendaftar esempe dulu, gw cukup naik sepeda dan menyerahkan sendiri dokumen-dokumen yang dibutuhkan. Dan gw cukup pede untuk mendaftar ke esempe terbaik & terfavorit di kampung halaman gw karena nilai NEM yang rata-rata diatas 8. Tapi anak gw? Nilai rapornya saja dibawah rata-rata kelas meskipun tidak jelek-jelek amat. Sama sekali gak punya motivasi mau sekolah dimana dan seperti apa. Jadi untuk memilih mau melanjutkan kemana pun harus dipilihkan. Karena pilihan dia lebih kepada pilihan teman-temannya. Gak peduli sekolah itu sesuai untuknya atau tidak. Jadi, panduan pengalaman gw sama sekali gak berlaku dalam menghadapi si sulung cari sekolah. Akhir pekan lalu merupakan puncak penantian gw apakah Ian diterima atau tidak. Kekhawatiran menemani gw sepanjang minggu ini.
Tapi tiba-tiba kekacauan lain muncul lebih dulu. Hari Jumat (14/3/08) malam, telepon rumah berdering. Si embak bilang,”Mau bicara dengan orang tua Febrian, Bu..” Perasaan gw mendadak tidak enak. Ada apa ya? Siapa ya? Apa sekolah yang baru mau memberitahu hasil tes masuk? Karena Sabtu (15/3/08) adalah pengumuman hasil tes. Atau Ian bikin ulah lagi? Atau....???
”Halo, Ibu...nama saya T. Saya adalah ibu dari si A. Anak saya dan dan ibu satu kelas ditempat les E. Tadi sore sewaktu didalam kelas, anak saya dipelintir kedua tangannya sama Ian”. Deg! Jantung gw berdegup kencang. Meskipun demikian gw tetap memasang telinga untuk menyimak kata demi kata yang keluar dari seberang telepon.
”Didorong dan dibanting. Pantatnya juga ditusuk-tusuk pakai pulpen. Sampai sekarang anak saya kesakitan, badannya biru-biru semua...bla bla..bla....”
Hati gw langsung hampa. Badan terasa lemas. Apa yang gw bisa lakukan adalah istighfar dan mencoba untuk tetap sadar. Dan dengan kesadaran itulah gw meminta maaf dan minta waktu untuk menyelesaikan masalah ini secara internal terlebih dahulu. Gw minta nomer teleponnya. Emosi gw untuk menghajar anak gw rasanya sudah di ubun-ubun. Tapi justru ketika kemarahan gw sudah demikian sangat, gw menjadi malas untuk menemuinya.
Jadi, langkah pertama adalah menelepon suami. Kepanikan seorang ibu nampaknya memang harus bertemu dengan ketenangan seorang ayah. Suami gw bilang bahwa besok pagi Ian harus diantar kerumah anak itu untuk minta maaf. Lalu gw menelepon kakak laki-laki gw yang di Solo. Selama ini dia memang paling perhatian ke Ian. Kepanikan gw dijawab dengan kepanikan. Gw paling gak bisa jika merasa dipojokkan. Apa yang harus gw lakukan?? Gw gak punya referensi. Gak semua anak memiliki rekam jejak seperti Ian. Gak ada Mamah untuk diajak bertukar pendapat. Suami belum sampai dirumah. Akhirnya gw menelepon sahabat gw yang psikolog. Lumayan menenangkan hati.
Tapi ternyata kedamaian belum sepenuhnya jadi milik gw saat itu. Telepon rumah tiba-tiba berdering lagi. Kali ini suara laki-laki di seberang. Mengaku sebagai bapak si A dan mengeluhkan hal yang sama. Hanya saja kali ini ada tambahan kalimat yang membuat gw super panik,” Kalau ternyata nanti hasil pemeriksaan ada apa-apa, saya mohon maaf, Bu, terpaksa saya bawa ke polisi masalah ini”. Hati gw sudah tidak keruan. Terbayang di pikiran gw kisah-kisah anak-anak yang karena ketidakmampuan mereka memperhitungkan segala sesuatu berakibat fatal di kantor polisi. Bahkan di penjara seperti kisah anak yang di Sumatera dulu. Mau bener atau salah, yang namanya apes bisa jadi apa saja. Apalagi kita berbicara soal anak-anak. Berbuat A belum tentu berpikir akan akibatnya yang B. Alhamdulillah diantara lidah yang nyaris kelu dan badan lemas serta otak kacau tidak karuan, gw bisa menjawab kemarahan si bapak dengan ketenangan yang hanya Allah SWT yang tahu kenapa gw bisa demikian. Gw memohon maaf berkali-kali dan menyampaikan bahwa besok pagi kami memang berencana untuk berkunjung dan meminta maaf secara langsung. Gw menanyakan dimana alamat rumahnya.
Sesudahnya, tangis gw langsung pecah ketika menelpon suami. Tapi ya tidak ada yang bisa dilakukan karena hari sudah malam.”Besok pagi saja, biar semua emosi mengendap,” kata suami gw menenangkan. Tenang gak tenang, gw berangkat tidur. Gw makin gak sanggup menemui Ian. Dan suami gw memang berjanji kalau dia sampai rumah hal pertama yang akan dia lakukan adalah menemui Ian dan mengajaknya berbicara. Hasilnya? Datar saja. Itulah anak sulung gw. Dan itu juga yang membuat emosi gw sering memuncak dalam menghadapinya. Kayak orang yang gak pernah menggunakan otaknya untuk berpikir. Capek dehhh..... Alasannya si anak itu menyembunyikan mp3 player-nya, dll dst. Apapun, jelas tidak memberi ruang baginya untuk boleh melakukan kekerasan.
Sabtu (15/3/08) pagi-pagi sekali suami gw sudah pergi membawa Ian ke rumah anak tersebut. Gw menolak ikut. Sumpah gw masih stres. Semalaman nyaris gw gak bisa tidur. ”Bagaimana jika...” memenuhi pikiran gw. Gw kebagian tugas menelepon wali kelasnya untuk memberitahukan bahwa hari itu Ian terlambat mengikuti kelas pemantapan. Hasilnya, menurut suami gw berjalan dengan baik. Nampak bahwa si bapak anak itu juga menghargai itikad baik suami gw yang datang pagi hari itu bersama Ian. Alhamdulillah penerimaannya baik meskipun apa yang sesungguhnya terjadi belum sepenuhnya bisa dipahami. Tapi itu bukan tujuan utama kami. Bagi kami yang utama adalah meminta maaf. Tidak ada salahnya meminta maaf. Meskipun siapa yang salah, selama demi kebaikan tidak apa-apa. Kebaikan itu salah satunya juga memberi pelajaran buat Ian. Pelajaran dalam menghadapi kehidupan ini bahwa kalau kita berbuat sesuatu pasti ada resikonya. Dan tentunya pelajaran moral bahwa menuruti emosi bukanlah jalan keluar setiap masalah.
Siang harinya, masih ada telepon dari tempat kursus. Diminta kehadiran orang tua Ian disana jam 1 siang. Waktu gw lirik jam tangan, jam 1 kurang 10 menit. Ini mah artinya menyuruh saat ini juga. Baiklah, gw dan suami menuju kesana karena kebetulan posisi kami sekeluarga sedang mengarah keluar komplek. Rencananya mau melihat pengumuman hasil tes masuk esempe. Jadi, berkumpul sudah 3 keluarga. Karena ada 1 keluarga lagi yang menurut bapak si A merupakan provokator kelas itu. Dipandu direktur tempat kursus dan pengajar, terjadilah dialog singkat. Gw dan suami lebih banyak diam. Toh tidak ada gunanya diperpanjang. Cerita anak-anak tidak akan pernah sama. Mau dilihat dari sisi manapun. Yang jatuh dianggap didorong, yang dorong merasa gak nyenggol, dan lain sebagainya. Yang pasti, gw mengemban misi mengajarkan hikmah dari kejadian ini kepada Ian. Itu tugas gw sebagai orang tua, sebagai ibu.
Kejadian ini sudah pasti membuat gw belajar bagaimana menjadi orang tua, bagaimana menjadi ibu. Mungkin juga Allah memang menyentil agar gw lebih memperhatikan Ian. Karena selama ini setiap pulang kantor yang selalu gw kejar adalah hilangnya waktu gw mengasuh Emil dari pagi hingga sore. Dalam pandangan gw, Ian sudah cukup besar untuk dilepas. Tapi ternyata, kedewasaannya belum datang seperti yang diharapkan. Mungkin memang Allah mengingatkan gw untuk lebih hadir dalam hari-hari Ian. Tidak sebagai teman. Tapi, sebagai ibunya.
*best thing happened on that weekend : Ian passed the test. Alhamdulillah.*